RARA & BANDUNG (modern)


-Part 4-

Di sisi lain Rara yang mulai melupakan kesedihannya karena ditinggal ayahnya meninggal mulai melakukan aktivitas sehari-harinya seperti biasa. Ia mulai masuk sekolah kembali dan bergaul dengan teman-temannya. Ia beruntung memilikin teman-teman yang sayang kepadanya.

          Pagi itu, Rara berangkat ke sekolah bersama sahabatnya, Kiran. Ia telah kembali ceria.

          “Hei, Ra. Berangkat bareng yuk.” Sapa Kiran.

          “Oke deh.”

          Sesampainya di sekolah, Rara sangat merasa senang sekali karena ia bisa berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Namun pagi ini tidak seperti biasanya. Hari ini anak-anak meributkan sesuatu. Mereka mendapat kabar bahwa hari ini kelas mereka akan kedatangan murid baru. Apalagi Greysia dan Melly. Mereka adalah anak paling centil di kelas Rara. Mereka mengetahui kalau anak baru tersebut adalah anak leki-laki yang tampan.

          “Aaahh.. nanti aku mau jadi pacarnya ah! Tadi aku sudah lihat dia di ruang kepala sekolah. Dia cakep banget.” Kata Melly kegirangan.

          “Uh! Nggak bisa. Tadi kan aku duluan yang lihat dia.” Timpal Grace.

          “Nggak bisa! Pokoknya aku yang akazn jadi pacarnya!” teriak Melly.

          “Aku..”

          “Aku..” Mereka berdua saling adu mulut untuk mempertahankan pendapat mereka.

          Namun, tak lama kemudian, Bu Dian yang merupakan guru sejarah sekaligus wali kelas mereka memasuki kelas. Ya, memang kali ini adalah pelajaran sejarah. Tapi, Bu Dian tidak datang sendirian. Beliau datang dengan seorang anak laki-laki yang sangat asing bagi semua teman-teman Rara, tidak terkecuali Rara. Semua yang ada di kelas itu dalam sekejap menjadi sunyi.

          Pagi ini, seperti yang telah dibicarakan teman-teman Rara, hari ini mereka akan kedatangan murid baru. Yah, itulah dia. Bu Dian pun memperkenalkan sang murid baru itu di depan kelas.

          “Silahkan perkenalkan diri kamu.” Perintah Bu Dian kepada si murid baru.

          “Baik, Bu. Perkenalkan Nama saya Bandung Prakoso. Kaliian bisa panggil saya Bandung. Saya pindahan dari SMAN 6 Bandung. Saya pindah ke sini karena saya ingin ikut nenek saya yang tinggal di kota ini. Sekarang saya tinggal di Pondok Permai Regency blok B/04. Terima kasih.”

          “Eeehh.. nomor hape kamu berapa? Mau dong jadi pacar kamu.” teriak Melly.

          “Eh, Melly sayang. Dari pada kamu jadi pacarnya lebih baik kamu jadi paccar aku saja.” Teriak Ryan si ketua kelas.

          “Huuuuuu..” semua anak yang ada di kelas itu berteriak mengejek Melly dan Ryan.

          “Sudah sudah. Sekarang keluarkan buku kalian!” perintah Bu Dian menenangkan murid-murid.

          Hari ini, kelas sedikit berbeda dari sebelumnya. Karena mulai hari ini dan seterusnya kelas Rara mendapat penghuni baru. Seorang anak cowok yang cukup tampan bagi kalangan cewek di kelas Rara. Mereka para cewek berusaha mencari perhatian Bandung. Apalagi Bandung adalah anak orang yang cukup berada.

          Sepulang sekolah, Bandung dikerumuni teman-teman ceweknya. Kecuali Rara dan temannya Kiran. Mereka bersikap biasa saja dengan Bandung. Tak ada hal istimewa baginya. Mereka menganggap Bandung sama dengan yang lainnya. Mereka kemudian pergi meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, mereka berdua pulang bersama dan melewati koridor sekolah. Namun, ada yang berbeda kali ini.

          “Hei, kalian berdua.” Terdengar suara dari belakang Rara dan Kiran yang memanggil mereka. Rara dan Kiran yang merasa diri mereka dipanggil akhirnya menoleh ke belakang.

          “Ya, ada apa ya?” tanya Kiran kepada seseorang yang telah berdiri di hadapannya.

          “Eh, enggak. Cuma pengen pulang bareng aja.” Jawab siswa itu yang ternyata Bandung.

          “Oh ya, nama kamu Bandung kan? Kenalkan aku Kiran. Eh, Ra, Dung, aku duluan ya. Sorry ya, Ra hari ini nggak bisa pulang bareng soalnya aku mau ke rumahnya sepupuku dulu. Bye..” Kiran akhirnya meninggalkan Rara dan Bandung berdua.

“Hati-hati ya, Ran.” Kata Rara.

“Eemm.. nama  kamu siapa?” tanya Bandung kepada Rara yang berdiri mematung setelah kepergian Kiran. “Hei, kok ngelamun aja?” tanya Bandung lagi.

“Eh, sorry. Kamu ngomong apa tadi?” jawab Rara dengan tergagap setengah kaget.

“Nama kamu siapa?” Bandung mengulang pertanyaannya.

“Oh, namaku Rara. Salam kenal ya, Bandung.” Jawab Rara.

“Ee.. Ra!”

“Iya, ada apa?”

“Oh, nggak kok. Aku cuma senang aja bisa kenalan sama kamu.”

Rara yang sedari tadi terlihat tenang sekarang menjadi sedikit salah tingkah dengan wajah memerah.

“Bandung, aku duluan ya.” Kata Rara mengalihkan perhatian.
“Oh, iya. Hati-hati di jalan ya.” Rara kemudian meninggalkan Bandung sendirian.

*****
(bersambung..)


part 1 part 2 part 3 part 4

RARA & BANDUNG (modern)

-Part 3-


Keesokan harinya, Bandung masih memikirkan kejadian kemarin. Ia takut jika terjadi sesuatu kepada orang yang telah ia tabrak kucingnya kemarin. Ia tidak berani menceritakan kejadian itu kepada ibunya. Ia takut  ibunya akan khawatir dengannya. Akhirnya ia memutuskan untuk merahasiakan kejadian itu kepada ibunya.

          Hari telah berlalu. Bandung pun  mulai melupakan kejadian itu. Ia mulai berkonsentrasi untuk menyelidiki siapa yang telah menabrak ayahmya. Setelah beberapa kali menyelidiki akhirnya ia menemukan ciri-ciri orang  yang menabrak ayahnya. Ia kemudian mencari tahu alamat rumah orang tercebut.

          “Apa benar ini alamat rumah orang yang telah menabrak ayahku? Tapi ini kan daerah yang kemarin aku menabrak kucing?” Bandung bertanya-tanya dalam hatinya. Kemudian Bandung menanyakan hal itu kepada seorang penjaga warung yang berada di dekat rumah orang itu.

          “Oh, rumah itu. Itu rumahnya Pak Baka. Tapi beliau baru saja meninggal.”

          “Meninggal? Meninggal karena apa, Pak?”

          “Denger-denger sih beliau terkena serangan janntung setelah kucingnya ditabrak sama anak laki-laki yang nggak dikenal.”

          “Kucingnya ditabrak sama anak laki-laki?” Bandung kembali bertanya-tanya dalam hati. “Ee.. makasih ya, Pak.” Kata Bandung kepada penjaga warung  itu. Kemudian ia kembali ke rumahnya dengan dihujani sejuta pertanyaan.

          Di rumahnya, ia masih bertanya-tanya, apakah orang itu yang kucingnya ia tabrak dulu? Jika memang itu benar, jadi ia tak perlu bersusah payah membalaskan dendam ayahnya.


*****


part 1 part 2 part 3 part 4

RARA & BANDUNG (modern)

-Part 2-


Sementara itu, di perumahan yang sama tetapi dalam kompleks yang berbeda. Hiduplah seorang putri nan cantik jelita. Namanya ialah Rara Jeihan. Ia tinggal hanya bersama ayahnya. Ibunya telah meninggal sejak ia masih kecil. Selama ia tinggal bersama ayahnya, ia selalu dimanja. Apapun yang ia inginkan pasti dipenuhi oleh ayahnya. Ayahnya sangat menyayanginya, begiitupula dengan Rara, ia juga sangat menyayangi ayahnya.

          Saat ini Rara sedang bersekolah di SMA Putra Bangsa. Di sana ia memiliki teman-teman yang juga menyayanginya. Ini karena Rara adalah anak yang baik hati dan suka  menolong teman-temannya yang kesusahan. Ia juga tergolong anak yang cerdas.

          Suatu hari ketika hari libur, Rara meminta izin kepada ayahnya untuk pergi bersama teman-temannya.

          “Ayah, Rara pergi dulu ya.” Pamitnya kepada ayahnya.

          “Mau kemana, Ra?”

          “Emm.. mau jalan-jalan sama temen-temen.”

          “Sama Neza dan Sinta?” tanya ayashnya lagi.

          “Iya. Boleh kan yah?”

          “Iya, tentu saja. Hati-hati ya.”

          “Baik, ayah.” Ayahpun mengantar Rara hingga ia meghilang dari pandangannya.

          Kali ini Pak Baka sendirian di rumah. Ia pun kemudian masuk ke kamar. Di kamar, ia tampak merenung memikirkan sesuatu. Ia memikirkan kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika ia tak sengaja menabrak seseorang. Waktu itu Pak Baka yang sedang menyetir menerima telepon dari rekan bisnisnya. Karena terlalu terfokus dengan teleponnya, beliau tidak sadar di depannya sedang ada mobil yang melintas dari sebuag tikungan.

          Pak Baka yang merasa ketakutan langsung pergi meninggalkan tempat kejadian. Tak ada orang lain yang mengetahui, kecuali seorang pedagang cobek keliling yang saat itu sedang melintas di jalan itu. Pak Baka juga tidak menceritakan kejadian ini kepada Rara putrinya.  Ia takut Rara akan khawatir jika mendengar kejadian itu.

          Tak berapa lama kemudian terdengar suara ricuh di luar. Ia pun mengira itu perbuatan kucing kesayanngannya, Cio. Pak Baka pun akhirnya memeriksa keadaan di luar,


          “Cio.. Cio.. puss.. puuss.. dimana kamu?” pak Baka mencari kucing kesayangannya kesana kemari, di bawah kolong meja, di bawah kursi, namun  tak ia temukan. “Oh, ternyata kamu disana.” Kata Pak Baka setelah menemukan kucingnya yang tengah berada di halaman depan. Tetapi setelah di dekati oleh Pak Baka, Cio malah lari ke jalan.

          Sementara itu, Bandung yang sedang asik mengendarai motornya sambil menikmati cuaca cerah di hari itu tidak memperhatikan keadaan di depannya.

          “Cio.. hei! Jangan lari..” teriak Pak Baka kepada kucingnya yang berlari.

          “heiii!!! Awaaaaass!!!” Bandung berteriak memperingatkan Pak Baka yang tengah berlari mengejar kucingnya.


          Bandung yang ingin menghindari Pak Baka yang tengah berlari mengejar kucingnya ternyata malah menabrak kucing dari Pak Baka. Cio kucing itu terkapar berdarah,  dan Cio pun langsung meninggal.

“Cio.. Cio..” teriak Pak Baka yang  mengetahui kucingnya telah terkapar di tengah jalan. Namun, tiba-tiba dada Pak Baka terasa sangat sakit. “Arrgghh..” kata Pak Baka setengah berteriak menahan rasa sakit.

“Om.. om.. om tidak kenapa-kenapa kan? Om.. om..!! Wah, gimana ini? Aku harus cepat-cepat pergi dari sini.” Bandung pun kemudian berlalu meninggalkan Pak Baka dan kucingnya yang telah meninggal.

          “Hei! Kamu apakan orang  itu?” teriak seorang tetangga yang mengetahui kejadian itu. Bandung pun semakin ketakutan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

          Tetangga tersebut kemudian meminta tolong kepada yang lainnya untuk membawa Pak Baka ke rumah sakit terdekat dan menghubungi Rara yang sedang ada di luar rumah. Rara yang menerima telepon itu langsung menuju ke rumah sakit. Ia sangat panik setelah mendengar ayahnya berada di rumah sakit.

          “Ayah.. ayah bangun ayah..” teriak Rara kepada ayahnya dengan suara terisak.

          “Maaf Rara, ayah kamu sudah tiada. Relakan dia, Rara. Beliau akan hidup bahagia di surga bersama ibumu.” Kata tetangga yang telah menolong Pak Baka.

          “Ayah saya kenapa, Pak?”

          “Kata dokter, ayah kamu terkena serangan jantung.”

          “Bagaimana bisa ayah saya terserang serangan  jantung? Yang saya tahu salama ini, ayah saya selalu mmenjaga hidup sehat.”

          “Saya juga tidak tahu, Rara. Tadi pagi, ada seorang anak laki-laki seumuran dengan kamu yang menabrak kucing kesayangan ayahmu. Tapi tiba-tiba ayahmu seperti merasa kesakitan di dadanya dan kemudian pingsan.”

          “Lalu siapa anak lelaki itu? Apa saya kenal?” Orang itu kemudian menceritakan ciri-ciri dari Bandung dan memberi tahu nomor motor yang dikendarainya saat itu.


*****


part 1 part 2 part 3 part 4

RARA & BANDUNG (modern)

-Part 1-


Di sebuah perumahan yang elite hiduplah seorang remaja bernama Bandungy  Prakoso. Ia tinggal bersama ibunya. Mereka tak lama pindah ke perumahan itu. Penyebab kepindahan mereka adalah karena ayahnya yang belum lama meninggal. Ayahnya, Pak Pengging meninggal karena sebuah kecelakaan, namun pelaku utama kecelakaan itu masih belum diketahui sampai sekarang.

Suatu hari Bandung bertanya kepada ibunya.

“Ibu, aku merasa kesepian sepeninggal ayah. Semenjak kepergian ayah, tidak ada lagi canda gurau ayah yang selalu menemani kita ketika kita berkumpul semua. Apakah ibu juga merasakan perasaan yang sama dengan ku?” tanya Bandung dengan muka bersedih.

“Anakku, sebenarnya ibu juga merasa kesepian sepeninggal ayahmu. Ibu sangat merindukan ayahmu. Namun, itu semua tidak menjadi masalah lagi bagi ibu selama kamu masih berada di sisi ibu.” Jawab ibu dengan penuh kasih sayang.

“Maafkan Bandung ibu. Bandung tak tahu kalau ibu juga merasakan hal yang sama dengan Bandung. Tak sepantasnya Bandung berbicara itu kepada ibi dan membuat ibu bersedih.”

“Tidak, anakku. Kamu tidak salah. Sudah selayaknya kamu bersedih karena kepergian ayahmu. Namun, ada satu hal yang harus kamu ingat, anakku. Kamu masih punya ibu, ada ibu di sini yang akan selalu menemanimu. Kamu juga masih muda anakku, kamu masih memiliki banyak impian yang harus kamu wujudkan. Jadi, jangan jadikan kepergian ayahmu sebagai akhir dari impianmu. Ayahmu melihatmu dari surga. Ayahmu akan bahagia jika kau juga bahagia dan dapat meraih semua impianmu.” Ibu berusaha menenangkan  Bandung dan memberi motivasi baginya.

“Baiklah ibu. Bandung akan berusaha untuk meraih impian Bandung.”

Ibupun tersenyum dan bahagia melihat Bandung yang kembali bersemangat untuk meraih cita-citanya. “Bandung,  hari sudah larut malam. Sebaiknya kamu segera beristirahat di kamarmu.”

“Baik ibu.” Bandungpun menuruti perkataan ibunya dan kemudian pergi ke kamarnya.

Di kamarnya, Bandung tidak langsung tidur. Ia masih memikirkan kepergian ayahnya. Sambil memainkan rubik kesayangannya, ia berpikir, siapakah orang yang tak bertanggung jawab yang telah menabrak ayahnya. Ia juga berniat untuk mencari tahu sendiri siapa pelakunya, karena polisi telah menutup perkara kecelakaan itu.

*****

part 1 part 2 part 3 part 4

Semua Berawal dari Mimpi

 SEMUA BERAWAL DARI MIMPI

Mimpi adalah kunci. Begitu kata Giring ‘Nidji’. Dengan  bahasa yang lebih sederhana, mimpi adalah titik awal sebuah pencapaian. Segala keinginan bersumber dari mimpi. Seorang yang punya mimpi menandakan bahwa ia masih memiliki kehidupan dan berniat untuk hidup.
Kedengarannya memang seollah muluk. Namun, itulah realitanya. Banyak orang meraih kesuksesan yang mungkin pada awalnya hanya sebuah mimpi.
Mimpi setiap orang tentu berbeda. Setiap orang menginginkan pencapaian maksimal dalam hidupnya. Namun, setiap pemimpi memiliki batas maksimalnya sendiri dalam bermimpi.
Lingkungan yang  penuh dengan persaingan sehat orang-orang berilmu pengetahuan akan memacu seseorang untuk bermimpi lebih besar dari apa yang diraih kebanyakan orang di lingkungannya. Namun, ada kalanya lingkungan itu pula yang berdampak pada kemalasan seseorang  hingga mematikan mimpinya. Ia bahkan tak lagi punya mimpi.
Sebaliknya, lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang dengan  tingkat pendidikan rendah dan kehidupan yang masih mengagungkan nilai-nilai adat yang tradisional dan kolot, membuat seseorang enggan untuk bermimpi. Bahkan, tida terlintas untuk bermimpi.
Kondisi seperti ini masih banyak di temui di daerah-daerah perkampungan yang  kehidupannya jauh dari lingkungan perkotaan. Masih banyak anggapan bahwa hanya orang-orang berduit dan orang-orang pintar saja yang bisa sekolah dan meraih mimpinya. Padahal, sekolah tinggi tidak hanya bisa ditempati orang-orang pintar dan berduit saja.
Dengan demikian, pengaruh lingkungan bagi lahirnya sebuah mimpi tidaklah selalu nyata. Semua akan bergantung dengan keinginan manusia itu sendiri untuk mengubah pola pikir yang itu-itu saja. Semua bergantung pada keinginan untuk hidup lebih baik dari keadaan sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang berani untuk mendobrak semua kemalasan dan hal-hal lain yang menghalanginya untuk bermimpi.
Jadi, jangan pernah takut untuk bermimpi! Jangan pernah merasa kerdil untuk memiliki satu mimpi besar! Mimpi atau cita-cita bukkan lagi celotehan saat balita, melainkan tombak awal bagi kehidupan kita untuk menggapai kesuksesan.


source : http://telekomunikasiku.blogspot.com/